Rabu, 01 Mei 2013


Ijinkan Aku Mencoba

        Dalam satu sisi hati, bagian kecil itulah yang mungkin belum aku mengerti. Begitu sulitnya aku pahami teka teki hati itu. Sesulit apapun toh saat ini hanya satu yang aku tahu. Mungkin, aku tak bisa hidup tanpa dia.

.~~#~~

            Kepalaku terasa pening. Kusadarkan diriku dalam dinding kamarku. Aku tidaklah kecanduan. Tapi, beginilah rasanya bila aku tidak ketemu dia.
“Sil, kamu gak boleh gitu donk”, kata Hilda setelah kuminta dia datang.
“kamu harus semangat. Tanpa dia kamu bisa. Kamu harus coba!”.
“semangat apapun itu Hil, aku nggak akan bisa bertahan. Sehari saja aku tidak ketemu dia, seakan tak ada lagi asa dalam hidupku. Semua terasa kelam”.
“kamu memang sudah terobsesi ma dia Sil. Kenapa kamu terus saja menggantungkan diri ma dia. Apa kamu akan terus begini?”.
Hilda, bukannya aku menolak semua nasehatmu. Tapi, aku tak akan bisa. Sebenarnya, kamu benar Hil, aku tidak boleh menggantungkan diri ma dia. Dia bukanlah siapa-siapaku. Tapi, benar-benar aku kagum ma dia. Dia hebat. Begitu hebatnya dia bisa membuatku ceria hanya dalam beberapa saat ketika aku berada dalam ketidak berdayaan dia itu spesial buat aku. Mungkin aku memang bodoh. Tapi, tiada daya bila aku harus berpisah dengannya. Seakan dialah satu-satunya harapan hidupku.

~~#~~


“Seneng banget Silvi, pasti deh gara-gara dia”, Goda Hilda ringan
“So pasti. Kayak gak tau aja. Itu kan lagu lama”
Lagi-lagi aku harus dengar nasehat Hilda agar aku sedikit demi sedikit menjauh dari dia. Memang apa salahku. Kenapa Hil, kamu paksa aku untuk berpisah dengan dia?. Dialah yang paham tentang diriku.
“Hil, apakah kamu menginginkan aku bersedih dan menangis. Apa kamu tak ingin melihat aku bahagia?”. Kataku pelan untuk membela.
“Justru karena aku sayang ma kamu Sil. Lupakan dia!. Belajarlah untuk itu!”. Katanya sambil menepuk pundakku.
Hilda, aku tak tahu apa yang ada dalam pikiranmu. Hil, tolonglah mengertilah aku. Jangan paksa aku untuk melakukan itu.

~~#~~

            Pagi yang membuat aku kecewa. Badanku terasa lemas terhempas dikamar. Mataku telah berkunang-kunang. Sesaat aku rasakan pening yang sangat. Tuhan, apa yang terjadi pada diriku. Aku remas kertas bersampul biru itu dan kulempar sekuat sisa-sisa tenagaku.
“ Tidak!!!”
Aku tidak boleh menyerah begitu saja. Aku harus berusaha untuk melupakannya. Dia harus tersingkir dari sampingku. Akupun menangis. Lebih baik menangis untuk menahan semua luka yang harus aku lalui. Tanganku menggapai seakan ingin aku minta pertolongan. Pada siapa aku harus meminta pertolongan selain pada dia.
Tiada daya akupun terhempas. Sampai kapan aku harus merasakan sakit kepala ini. Sesekali aku pandang obat sakit kepala itu. Hanya itu yang bisa menyembuhkanku. Obat itu yang membuat aku ceria. Ya.. meski hanya 1 tablet. Dialah semangat hidupku. Tapi, tak mungkin. Aku sadar. Aku harus menghentikan minum obat itu. Aku tidak boleh ketergantungan. Ijinkanlah aku mencoba. Mencoba berpaling dari obat itu. Bagaimana caranya akan aku coba. Tiada efek apa-apa sebenarnya tapi benar kata Hilda. Meski setiap saat dialah teman hidupku tapi bukan berarti dia Tuhan yang bias menentukan umur seseorang. Dia tak bisa mengatur hidupku. Sedikit asa aku mencoba bertahan. Bertahan dan terus bertahan. Meski sakit ini belum hilang tapi aku yakin aku bisa mengatasinya meski harus berjuang.
Tubuhku semakin  lemas. Aku biarkan mata ini terpejam. Biarkan rasa sakitku pergi bersama mimpi-mimpiku. Saat ini mungkin inilah caraku lepas dari obat itu. Sedikit aku lega. Dalam desahan panjang akau mencoba tersenyum meski aku tak tahu apa yang akan terjadi saat mata ini terbuka. Ijinkanlah aku meminta. Bukan mobil mewah ataupun rumah yang megah. Yang jelas hanya keceriaan yang ingin aku miliki. Keceriaan tanpa batas dan tanpa obat sakit kepala disisiku.

 kebaikan pasti akan dibalas dengan kebaikan
Angin berhembus kencang. Bulan tampak bersinar terang ,aku duduk melamun di teras rumah dan aku teringat akan seseorang yang menanti aku di kampung  halaman yang sangat jauh dari tempat ku saat ini.wajahnya secantik bidadari  dan berseri bagaikan sinar bulan.
Mata ini seakan hendak menurunkan hujan . ketika aku ingat akan perkataan nya.
“jaga dirimue baik-baik sayang dan ingat jangan nakal yah? Aku di sini ada setia menunggumu sampai kau kembali”,kata dia sambil berbicara dengan wajah suram .
“iya sayang,love you “,aku menjawab sambil mencium dahinya.
Dan aku pun pergi untuk merantau ditanah orang.aku di tanah orang ,sangat lah susah dan tersiksa.tiap hari bekerja mengangkut barang di pelabuhan .karena perkerjaan itulah yang satu-satunya aku dapatkan saat ini.pulang malam hari dengan membawa rasa pegal.
Dari bulan ke bulan perkerjaan ini aku lakukan sampai suatu ketika ,saat aku berjalan menuju tempat bekerja aku melihat seorang ibu-ibu sedang diancam pencopet.aku segera menolong ,dengan menghajar pencopet itu maklum mantan jawara pesilat desa.akhirnya pencopet itu kabur.
“terima kasih,nak .telah menolong ibu”,kata ibu itu.
“sama-sama,ibu. Kita sebagai manusia  harus saling tolong menolong”,jawabku.
Setelah kejadian itu aku meneruskan perjalanan menuju tempat perkerjaan . di tempat perkerjaan, aku berkerja seperti biasa, ketika aku berkerja aku tak sengaja menjatuhkan kotak barang,kotak barang itu berisi barang berharga.
“hei kenapa jatuh,kamu ini bodoh  yah. Didalamnya itu ada barang berharga, sekarang kamu ganti atau kamu saya pecat”,kata pak kepala bagian pelabuhan Berbicara dengan rasa marah.
“maaf pak ,aku tak sengaja menjatuhkan nya”.
“maaf-maaf, tidak ada kata maaf. Sekarang kamu saya pecat”.
 akhirnya aku pun di pecat dari perkerjaan itu dan aku pun memutuskan untuk pulang kampung  aku segera mengemasi barang-barang dan langsung ke terminal. Di terminal aku tak sengaja bertemu dengan ibu yang aku tolong.
“hei,nak.apa kabar?”
“baik buk’,jawabku sambil murung.
“kok murung”Tanya ibu itu.
“ini buk,saya baru di pecat dari perkerjaan dan saat ini saya  mau pulang kampung  saja,saya sudah tak ada perkerjaan lagi buk”
“oh, kamu mau nggak perkerjaan?”
“mau buk”,jawabku.
“kalau  gitu besok kamu langsung ke kantor ibu di jalan subroto”
“iya buk,terima kasih”jawabku.
“sama-sama nak”.
Setelah itu aku berkerja di di kontor perusahaan ibu selama dua bulan dan aku di beri kesempatan oleh perusahaan untuk kuliah dengan biaya perusahaan. Setelah tamat kuliah aku naik jabatan dari pegawai biasa menjadi kepala bagian dan aku juga dijadikan anak angkat oleh ibu tadi,sungguh beruntungnya aku.memang betul  apa kata pepatah,kebaikan pasti akan dibalas dengan kebaikan.tak terasa sudah satu jam aku duduk melamun.akupun masuk dan bersiap-siap untuk pulang kampung.karena aku sudah kangen dengan dia.

Secangkir Kopi di Suatu Senja
SELALU saja ada yang kutunggu-tunggu. Ya, sebuah moment ketika seperti mengulang jatuh cinta pertama kali seperti belasan tahun lalu. Manakala perasaan berdentum-dentum menguarkan semacam debaran aneh yang tak tereja apa maknanya. Seperti cemburu meletup-letup, tetapi indah. Seperti rindu dengan kekasih yang telah lama melewatkan malam minggu berdua saja.
Bila rasa itu bergelinjang lincah, maka satu-satunya cara adalah menepi. Ya, memilih pelahan berjingkat meninggalkan keriuhan, lalu sepasang mata ini akan menjelajah. Seperti pemburu dengan senapan angin di tangan kanan. Seperti pelukis yang rindu dengan kanvas dan kuas. Seperti pekerja kantoran yang mata dan jari-jemarinya tak pernah sejengkal berlalu dari tabung pintar yang kini dapat dijinjing dan cakap mengolah jutaan data. Aku seperti mereka yang menahan rasa cinta menahun. Sakit namun indah. Pilu tetapi nikmat. Melankolis sekaligus romantis. Setidaknya bagiku.
Berulangkali momen itu singgah dan selalu mengingatkanku, betapa beberapa peristiwa penting yang kini menjadi kenangan itu mengiringinya. Aku masih ingat, ketika beberapa tahun silam, pada suatu hari menjelang senja, engkau tiba-tiba hadir di hadapanku. Senyummu mengembang, tanganmu begitu hangat dan ah ya, kentara kurasakan aroma kerinduan memenuhi jiwamu.
Tanpa minta pertimbanganku, engkau menggenggam tanganku. Lalu mengajakku ke sebuah tempat. Sepanjang perjalanan, tak ada satupun kata meluncur dari bibirmu. Begitupun aku. Pelukan erat di tubuhmu, cukuplah kau tahu, bahwa aku pun menginginkan kehadiranmu.
Senja yang eksotis. Karena engkau dan aku dapat menyaksikan selarik bianglala meningkahi bayang matahari yang beranjak pulang. Tahukah? Itu sungguh menakjubkan, karena tak ada hujan membasahi semesta.
Mata kita sama-sama terpaku. Bukan saling menatap. Tidak. Tapi, karena sama-sama terhipnotis semburat gagah di cakrawala barat yang pelahan meredup diiringi ratusan burung-burung camar yang entah darimana asalnya. Aku tergagu, engkau mematung. Kita sama-sama larut dalam ekstase megah yang aku tak yakin dapat setiap waktu menjumpainya. Tanganmu menggenggam jemariku erat. Terasa hangat. Seperti ada yang kau alirkan dengan diam-diam. Persis ketika dua cangkir kopi tiba di meja kita. Mengepul-ngepulkan aroma wangi yang menyusup hingga nurani.
Tanpa kata-kata, kau ulurkan secangkir untukku. Alis matamu membuncah. Pipimu bersemu merah. Begitu pula bulu matamu bergerak-gerak indah. Mungkin, itu sebuah isyarat pernyataan cintamu, entahlah!
Senja itu menjadi hari terindah yang pernah kumiliki. Karena tak ada lagi pertemuan setelahnya. Aku kehilanganmu. Sedang sejak saat itu, hatiku telah berlimpah cinta. Dan kau, tidak mengizinkanku untuk mengungkapkannya. Aku seperti camar pulang yang tak (lagi) melewati megahnya matahari.  Seperti biduk yang lupa dimana meletakkan kayuhnya. Aku seperti bulan yang tak dapat berjumpa malam. Lebih menyesakkan karena bayanganmu terus menyertaiku.
Aku menyimpan rindu acapkali senja memagut indah. Seringkali ketika langit tak mengabarkan hujan, aku menyapa senja seorang diri.  Di teras rumahku, kuletekkan sebuah meja dan dua kursi. Siapa tahu engkau datang lagi seperti hari itu. Kuseduh air di dalam panci bertangkai, lalu kuracik dua cangkir kopi dengan hati-hati. Hatiku berdebar-debar ketika panci kecilku mendidih, dan rasanya ada kelegaan yang begitu nikmat, ketika dua cangkir itu terisi penuh serbuk kafein berpadu gula. Kuaduk pelan meski tak serupa barista. Aku hanya ingin kau tahu, bahwa di dalam cangkir itu ada cintaku untukmu.
Senja selalu menjadi bagian romantis. Bahkan ketika sendiri. Mencecap secangkir kopi, tak peduli apakah hanya kopi hitam bercampur gula saja, atau telah bermanifestasi ke dalam coklat susu atau gumpalan cream pekat. Entah apakah dinikmati di beranda rumah atau di tepi pantai atau bahkan dari lantai lima sebuah plaza. Rasanya selalu indah. Sebab, aku tahu, sebenarnya aku tak hanya sedang menikmati nikmatnya, melainkan karena sebagian  jiwaku berada di dalamnya.
Bila senja ini adalah sebuah penantian
Maka, engkaulah yang kutunggu
Dengan rasa yang berlimpah ruah seperti pesta
Seperti mempelai menanti malam pertama

Bila senja ini adalah bahagia
Itu sebab engkau karenanya
yang meminang sepanjang hari dengan desir wangi
dan putik bebunga tak layu

Senja ini adalah romansa
Sebab engkau mendampingi
Secangkir kopiku yang beradu rasa dengan setangkai sendok gula, sedikit susu
Dan kenanganmu,……

Selasa, 30 April 2013

pertikaian antar sahabat

Seperti sudah dijanjikan, dua orang lelaki bertemu di jempatan beton dekat simpang tiga depan kantor pos. Yang satu kekar dan yang satu kurus. Keduanya sama mendekatkan arloji ke mata, seolah hendak tahu apa mereka tiba tepat waktu. Ketika itu malam belum lama tiba. Hujan yang deras turun dari sore, sekarang menjadi redah. Malam menjadi kian gelap dan lebih dingin hawanya. Salah seorang mengenakan mantel hujan. Yang lain bermantel plastik transparan. Kerah mantel- nya sama ditinggikan sampai menutup telinga. Kepala si kekar ditutupi oleh baret abu-abu. Si kurus oleh topi mantel. Sedangkan tangannya sama membenam jauh ke dalam saku celana. Mereka berjalan ke arah timur dengan setengah membungkuk, mengelakkan dingin dan tiupan angin malam. Tak seorangpun yang berbicara.

Nyala lampu jalan yang bergoyang-goyang ditiup angin itu, redup cahayanya. Dibendung oleh kabut yang biasa turun di kota pegunungan itu. Jalan itu lengang seperti kota ditinggalkan penduduk karena ada ancaman bencana. Hanya bayangan kedua orang yang terangguk-angguk itu saja yang kelihatan. Ketika mereka sampai di sutu saimpang, si kekar bertanya tanpa menoleh: "Kemana kita?"

"Terserah kau." jawab si kurus gersang.

Lalu yang kekar membelok ke kiri. Seperti itik jalan sekandang, si kurus juga membelok. Sekarang jalan yang mereka tempuh mendaki. Tapi mereka tidak melambatkan langkah. Sehingga mereka seperti tambah terbungkuk-bungkuk dan kepalanya sama terangguk pada setiap kaki dilangkahkan. Jalan itu lebih gelap oleh kerimbunan pohon-pohon di kiri- kanannya. Dan kaki mereka sering terperosok ke lobang di jalan aspal yang telah lama tidak diperbaiki. Keduanya dengan pikiran masing-masing. Hanya derapan sepatu yang solnya sudah lembab yang meningkahi gemurung hewan malam.

"Gila. Dia berani. Sekali aku pukul, pasti klenger." kata si kekar dalam hatinya.

"Orang bertubuh besar, kekar, bangga dengan otot. Tapi tidak punya otak. Dan kalau kaya, sombong. Tidak punya perasaan." kata si kurus dalam hatinya juga.

"Mengapa dia berani? Apa dia punya ilmu? Ilmu apa? Ah, ilmu. Kalau orang Indonesia punya ilmu, tidak akan bisa Belanda lama-lama menjajah negeri ini. Tapi dia ini punya ilmu apa?" kata si kekar lagi pada dirinya.

"Itu benar. Tapi tidak selamanya." kata si kurus. "Karena orang kecil punya otak. Harus cerdik. Sejarah mengatakannya begitu." kata si kurus masih dalam hati.

"Aku pecahkan kepalanya sampai otaknya berderai. Biar bangkainya tahu, jangan coba-coba melawan aku." kata si kekar pula.

Kini mereka melalui jalan yang mendatar sesudah membelok ke kanan lagi. Langkah mereka seperti tertegun ketika mulai melalui jalan yang datar itu. Napasnya sama menghembus panjang, bagai mau melepaskan hengahan payah. Lalu mereka melintasi jalan lebar yang bersimpang. Tiba-tiba sebuah jip militer datang dari arah kanan. Si kekar buru- buru menepi. Tapi si kurus tidak peduli. Dia tidak menghindar. "Kamu mau mati, hah?" bentak pengendera jip itu dengan iringan sumpah serapah.

Si kurus berdiri sambil menatap ke arah jip yang lewat tidak lebih setengah meter darinya. Katanya dalam hati: "Sama saja watak kalian. Tidak beretika. Tidak bermoral."

Rumah-rumah di kedua pinggir jalan itu sudah jarang letaknya. Listrik belum sampai ke sana. Hanya cahaya lampu minyak mengintip dari celah dinding anyaman bambu. Rumah- rumah itu sunyi dan hitam. Sesunyi dan sehitam alam hingga ke puncak bukit. Sedangkan alam bukit itu terpampang bagai mau merah api alam kecil di bawahnya. Tepat diatas perbatasan yang pekat itu, sesekali cahaya terang mengilat. Bukit itu bagai binatang merayap maha besar dalam kisah prasejarah. Mengerikan nampaknya.

Tiba-tiba pintu rumah di pinggir kiri jalan terbuka.

Cahaya lampu minyak melompat keluar. Masuk ke gelap malam. Kepala seorang perempuan menjulur. Dia memandang lama ke- pada kedua laki-laki itu. Laki-laki itu juga memandangnya.

Ketika lelaki itu berjalan terus, kepala perempuan itu lenyap lagi ke balik pintu sambil menggerutu. "Sialan.

Bukan mereka."

Dan perempuan lain di dalam rumah cekikikan ketawa. Lalu hilang karena pintu ditutup lagi. Cahaya lampu yang menjilat malam itu pun lenyap bersamanya. hujan pun tidak turun lagi.

"Kurang ajar. Berani bilang aku sialan. Kalau aku mau perempuan bukan ke seni aku, tahu?" kata si kekar masih dalam hatinya.

"Perempuan pemilik daging sewaan ini, sama saja dengan pemilik otot. Sama tidak punya etika, tidak punya moral." gerutu si kurus.

Kemudian mereka tiba lagi di sebuah simpang. Jalan besar yang mereka tempuh membelok ke kiri. Tapi mereka me- neruskan arahnya, melalui jalan kecil tanpa aspal. Kerikil besar-kecil berserakan. Gemercakan bunyinya di pijaki. Dekat di kiri kanan jalan meliuk-liuk daun pisang ditiup angin. Berkepakan bunyinya menyela desaran angin yang meniup dan nyanyian jengkrik. Bukit menghempang di hadapan mereka hilang timbul disela daun pisang itu. Langit yang memberikan kilatan, juga mengintip dicelahnya. "Tak kusangka aku ke sini di malam seperti ini." si kekar berkata dalam hatinya lagi. "Mengapa aku mesti ke sini? Seumur-umurku belum pernah aku ke sini. Jangankan malam. Siang pun belum. Gila bener."

"Orang kuat, orang kaya, itu maunya takdir. Jika enggan menghormati kaum jelata, hormatilah takdir. Kalau mereka tidak mau, lawan takdir itu. Takut melawan, terinjak terus. Kalau melawan, gunakan otak. Akali. Kalah menang juga takdir." kata si kurus masih dalam hatinya.

Tiba-tiba keduanya sama terkejut. Langkah mereka sama terhenti, sambil dengan hati-hati mengawasi sesuatu yang melintas cepat di depan mereka. Rupanya seekor musang.

Berdesauan suara perlandaan badannya dengan dedaunan di semak itu.

"Huss, musang. Bikin kaget orang. Nantilah, aku bawa bedil ke sini. Baru kamu tahu rasa." kata si kekar.

"Bagi kamu musang, selalu ada sekandang ayam untuk kamu terkam. Apalah daya ayam karena sudah takdirnya begitu. Manusia yang binatang, ya, sama. Tapi aku manusia. Manusia Kalau kuat, ya, jangan menindas. Kalau tidak mau melawan, jadi ayamlah kamu." kata si kurus lagi.

Keduanya terus melangkah juga. Tapi lebih lambat. Si kekar seperti mencari-cari sesuatu. "Orang kurus seperti kamu, sekali tetak, lehermu patah. Berhari-hari kemudian orang akan mencari bau bangkai membusuk ke sini. Bangkai itu, bangkai kamu. Karena itu jangan sekali-kali menentang

orang kuat." kata si kekar lagi. Masih dalam hati. Dia lebih memperlambat langkahnya seperti dia merasa sudah sampai ke tempat yang ditujunya. Dan memang tak lama kemudian mereka sampai ke suatu padang luas yang membujur di sepanjang kaki bukit di kejauhan itu. Tiada pohon tumbuh disitu. Selain belukar menyemak. Dulunya padang itu tempat serdadu Belanda, sorja Jepang dan tentara revolusi latihan menembak. Di sana Jepang juga memenggal nyawa orang yang dituduh pengkhianat. Tentera revolusi pun meniru gurunya yang sorja Jepang. Sehingga padang itu menumbuhkan fantasi yang menegakkan bulu roma setiap orang.


Orang-orang tawanan yang akan dibawa ke situ, sudah kejang duluan oleh ketakutan atau cepat-cepat berdoa dengan seribu cara. Dan kini padang luas yang sunyi dan menimbulkan fantasi seram itu, di malam berenyai, dingin dan pekam, didatangi oleh dua lelaki. Dan padang itu, seperti biasa menanti dan menyaksikan orang-orang yang dipenggal lehernya atau ditembak mati tanpa peduli perasaan si korban. Padang itupun sunyi menerima kedatangan kedua laki- laki itu. Bersikap masa bodoh terhadap segala apa yang di lakukan oleh manusia terhadap sesamanya. Seolah-olah berkata: "Hai manusia, silakan kalian saling bunuh." Tapi arwah manusia yang dibunuh tanpa kerelaan, sehingga menumbuhkan fantasi yang menghantu, seperti tidak menyentuh hati kedua lelaki yang mendatanginya di malam itu.

"Dia mau menjagal aku, seperti yang dilakukan serdadu-serdadu itu." kata si kurus dalam hatinya.

"Kalau dia sampai mati aku gampar, orang akan menanyai aku. Polisi akan menangkap aku. Matilah aku. Sialnya ini orang mau ke sini." kata si kekar menggerutu pada dirinya. "Kalau aku dipenjarakan, akan apa perasaan isteriku. Kalau aku dikuhum mati? Bajingan-bajingan akan memburu istriku yang muda, cantik dan kaya oleh warisanku. Sialan".

Cahaya kilat memancar jauh tinggi dilangit, tanpa tenaga menembusi gelap dan kesepian padang itu. Dan sesekali angin meniup agak keras, hingga daunan kayu bergoyangan menjatuhkan pautan tetesan air padanya. Gegap berdesauan bunyinya, bagai teriakan prajurit yang kemasukan semangat mau mati yang bernyala dan haus darah.

Si kekar mendongakkan kepalanya seraya memandang sekeliling alam di padang itu. Lalu katanya seraya menghenti- kan langkahnya, "Di sini saja."

Si kurus pun menghentikan langkahnya. Masih menekur juga dia. Keduanya kini tegak berhadapan, seperti dua orang yang mau mengatakan sesuatu yang lama sudah disimpan.

"Mestinya dia ini tidak perlu aku bawa ke sini. Aku cari saja preman. Suruh ajar dia ini. Habis perkara." kata si kekar. "Sialnya aku lancang mulut mengajaknya berduel malam ini."

Cahaya kilat memancar lagi. Jauh di balik bukit seberang ngarai yang lebar itu. Redup, seperti tak bertenaga. Lalu kata si kekar dengan suara redup seperti kilat itu:

"Tak pernah selama ini aku mengangankan datang kemari bersamamu. Apalagi malam begini. Nyatanya kita kemari juga.

Kau tahu mengapa?"

Si kurus mengangkat kepalanya, seraya memandang ke arah kepala si kekar. Lalu katanya dengan suara yang gersang.

"Maumu 'kan?" Tapi dalam hatinya dia berkata: "Kau tahu kau kekar dan kuat. Kau jadi berani membawa aku ke sini. Tapi aku punya harga diri. Sekali aku kecut, seumur hidup aku kau dilecehkan."

Keduanya terdiam ketika angin bertiup rada kencang. Bersoraklah lagi dedaunan menggugurkan tetesan sisa air yang bergantungan padanya.

"Kita telah bersahabat sejak SMP. Berapa lama itu? Kau ingat? Lebih dua puluh tahun." si kekar memulai bicara sebagai awal pembicaraan yang panjang dengan mengingatkan segala apa yang telah diberikannya kepada si kurus selama mereka bersahabat kental. Nadanya membanggakan kelebihannya dan melecehkan si kurus dengan kalimat sindiran.

" sekali hari kau kenalkan Nita padaku. Katamu, temanmu. Aku naksir dia. Aku lamar dia pada orang tuanya. Lalu kami kawin. Sejak itu kau berubah. Mana aku tahu Nita pacarmu." kata si kekar.

"Kalau kapal suka berubah arah ke mana angin kencang bertiup, lebih baik tidak menompangnya. Tapi ini bukan soal Nita. Ini soal harga diri yang selalu kau lecehkan" kata si kurus. Masih dalam hatinya.

"Kau kira aku cemburu kalau Nita kemudian dekat padamu? Tidak. Aku tidak cemburu. Karena aku tahu siapa aku, siapa Nita, siapa kau." kata si kekar. Kemudian dengan nada yang tegar dia melanjutkan:
"Kalau kau mau ambil dia, ambil. Tinggalkan kota ini. Aku tidak suka dilecehkan." Dia mencoba meneliti wajah si kurus. Namun gelap malam menghalangi penglihatannya. Cahaya kilat tak membantu karena terlalu jauh di langit sebelah barat. Angin masih sebentar-sebentar menggoyangi dedaunan di ujung ranting.

"Kau tidak peduli kapalmu rindu pada teluk yang dalam, ombak yang tenang. Itulah macam manusianya kamu. Seperti raja-raja dahulu kala. Semua yang berada di bawah kuasamu, kamu pikir dapat diperjual-belikan. Siapa mau dan tahan diperlakukan begitu terus-menerus?" kata si kurus dalam hatinya juga.

"Sekarang, kita berada disini, di padang yang luas ini, di malam sehabis hujan turun, dimana kilat masih sambung- bersambungan. Namun dalam hati kecilku aku menyesali kehadiran kita disini. Aku merasa konyol. Tapi.....kalau tidak dengan cara begini menyelesaikan persoalan kita, hilanglah harga diriku." kata si kekar dengan gaya orang partai yang mencoba menumbuhkan kesan kagum yang diharapkannya. Tapi si kurus masih tidak menanggapi. Dia masih bersikap seperti tadi, berdiri tanpa peduli.

"Betul-betul sudah pekat hatimu menantang aku secara jantan?" kata si kekar.

Si kurus tak menyahut. Tapi kepalanya tak menekur lagi. Tegaknya seperti menantang.

"Sekali lagi aku tanya, Apa hatimu sudah pekat?"

"Kau kira apa?" kata si kurus seraya menyurutkan sebelah kakinya selangkah.

Si kekar membuka mantel hujannya tenang-tenang. Disamkutkannya pada ranting belukar beberapa langkah dari tempatnya. Sambil melangkah digulungnya lengan panjang keme- janya. Selesai yang kiri, lalu yang kanan. Juga dengan tenang. Tapi ketika dilihatnya si kurus masih terpaku pada tempatnya berdiri, dia berkata lagi, "Mengapa tak kau buka mantelmu? Kau menyesal?"

"Apa pedulimu?"

"Baik." kata si kekar sambil menyelesaikan menggulung lengan kemejanya. Kemudian dia kepalkan tinjunya sambil menyurutkan langkah selangkah. Siap untuk berkelahi. Tiba- tiba dia lihat sesuatu yang berkilat di tangan si kurus. "Apa itu?" tanyanya.

"Pisau," jawab si kurus tegas.

"Oh. Kau berpisau? Itu curang namanya." kata si kekar seraya menyurutkan kakinya selangkah lagi.

Tak ada jawab si kurus.

"Kalau kau main curang, buat apa kejantanan? Aku tidak mau berduel dengan orang curang." kata si kekar.

"Kencing kau." carut si kurus untuk menghina.

Si kekar kehilangan nyali. "Kalau aku tahu kau bawa pisau ......."

Dan angin bertiup lagi. Dedaunan berdesauan pula. Kini seperti bersorak girang atas kemenangan orang kecil atas keangkuhan orang besar.


Lama kemudian si kekar berkata lagi, tapi dengan suara yang kendor. "Aku orang terdidik. Terpandang pada mata masyarakat. Aku tidak mau mati terbunuh oleh sahabat karib ku sendiri. Tak aku sangka, kau mau membunuhku."

"Mestinya aku ludahi wajahmu. Tapi apa gunanya menghina orang yang kalah?" kata si kurus dalam hati. Seketika ada pikiran yang mengganggunya, bagaimana kalau si kekar jadi pemenang. "Pasti seperti pemenang pada perang saudara."

"Maksudku, hanya ingin menyelesaikan persoalan antara kita. Bukan untuk berbunuh-bunuhan. Karena kita bersahabat karib." kata si kekar dengan suara lirih.

Si kurus membalikkan badannya. Lalu melangkah ke arah mereka datang tadi. Tidak tergesa-gesa. Juga tidak pelan.

"Tunggu. Tunggu aku." seru si kekar. Karena si kurus terus menjauh, dia mengikuti dengan langkah panjang-panjang. "Jangan kau salah mengerti. Sebenarnya aku tidak hendak berkelahi. Apalagi dengan kau." katanya setelah dekat.

Si kurus tidak menjawab. Dia terus berjalan tanpa memlambatkan langkah. Si kekar terus juga bicara tentang penyesalannya mengajak si kurus ke tempat yang sepi itu. Kemudian katanya: "Aku minta maaf sebesar-besar maafmu.

Kau mau, bukan?" Karena si kurus terus tidak berkata, di pegangnya tangan si kurus. Tapi si kurus merenggutkan tangannnya dari pegangan itu. Terperengah berdiri si kekar beberapa saat.

Angin malam terasa bertiup lagi. Dedaunan pohon pinggir jalan itu mendesau seketika. Si kekar melangkah cepat, lebih cepat dari langkah si kurus. Setelah beberapa langkah mendahului, dia berdiri dan menanti si kurus mendekat.

Didekapnya kedua telapak tangannya di bawah dagunya seperti patung Budha. Lalu katanya memelas: "Aku minta maaf, sungguh, jangan kau ceritakan peristiwa ini kepada siapapun. Hancur harga diriku. Akan apa kata Nita, kalau dia tahu?

Hancur aku. Hancur."

Si kurus terus melangkah. Si kekar terus menghadang dengan langkah mundur. Tanpa merobah letak kedua tangan, si kekar berkata lagi: "Apapun yang kau minta akan aku beri, asal kau tidak ceritakan kepada siapapun. Habis aku. Hancur harga diriku. Katakan apa yang kau mau. Kalau kau mau Nita, ambillah. Aku ikhlas."

Tiba-tiba dia berhenti. Dia ingat mantelnya tergantung pada ranting belukar. Tergesa-gesa dia kembali untuk mengambilnya. Tergesa-gesa pula dia mengenakan mantel serta mengancingkannya. Sedangkan matanya terus juga memandang si kurus yang kian menjauh dan kian hilang dalam gelap malam. Dia berlari mengejar sambil memangil-manggil nama si kurus dan minta si kurus menunggu. Ketika sampai di tempat mereka berpisah tadi, si kekar berhenti. Dia memandang berkeliling mencari dimana si kurus berada. Tidak siapapun terlihat, selain gelap malam. Bulu romanya merinding. Sambil berlari kencang, dia memanggil nama si kurus keras-keras. "Dali, tunggu. Dali, tunggu. Jangan tinggalkan aku. Daliiii."

Si kurus keluar dari persembunyiannya di belukar, setelah suara si kekar tidak terdengar lagi. Dia bersembunyi karena enggan berjalan seiring dengan sahabat lama yang sudah jadi bekas sahabat.

persahabatan yang tak terlupakan

Ketika dunia terang, alangkah semakin indah jikalau ada sahabat disisi. Kala langit mendung, begitu tenangnya jika ada sahabat menemani. Saat semua terasa sepi, begitu senangnya jika ada sahabat disampingku. Sahabat. Sahabat. Dan sahabat. Ya, itulah kira-kira sedikit tentang diriku yang begitu merindukan kehadiran seorang sahabat. Aku memang seorang yang sangat fanatik pada persahabatan.

Namun, sekian lama pengembaraanku mencari sahabat, tak jua ia kutemukan. Sampai sekarang, saat ku telah hampir lulus dari sekolahku. Sekolah ber-asrama, kupikir itu akan memudahkanku mencari sahabat.

Tapi kenyataan dengan harapanku tak sejalan. Beragam orang disini belum juga bisa kujadikan sahabat. Tiga tahun berlalu, yang kudapat hanya kekecewaan dalam menjalin sebuah persahabatan. Memang tak ada yang abadi di dunia ini. Tapi paling tidak, kuharap dalam tiga tahun yang kuhabiskan di sekolahku ini, aku mendapatkan sahabat. Nyatanya, orang yang kuanggap sahabat, justru meninggalkanku kala ku membutuhkannya. “May, nelpon yuk. Wartel buka tuh,” ujar seorang teman yang hampir kuanggap sahabat, Riea pada ‘sahabat’ku yang lain saat kami di perpustakaan. “Yuk, yuk, yuk!” balas Maya, ‘sahabatku’. Tanpa mengajakku Kugaris bawahi, dia tak mengajakku.

Langsung pergi dengan tanpa ada basa-basi sedikitpun. Padahal hari-hari kami di asrama sering dihabiskan bersama. Huh, apalagi yang bisa kulakukan. Aku melangkah keluar dari perpustakaan dengan menahan tangis begitu dasyat. Aku begitu lelah menghadapi kesendirianku yang tak kunjung membaik. Aku selalu merasa tak punya teman. “Vy, gue numpang ya, ke kasur lo,” ujarku pada seorang yang lagi-lagi kuanggap sahabat. Silvy membiarkanku berbaring di kasurnya.

Aku menutup wajahku dengan bantal. Tangis yang selama ini kutahan akhirnya pecah juga. Tak lagendui terbng. Sesak di dadaku tak lagi tertahan. Mengapa mereka tak juga sadar aku butuh  teman. Aku takut merasa sendiri. Sendiri dalam sepi begitu mengerikan. Apa kurangku sehingga orang yang kuanggap sahabat selalu pergi meninggalkanku. Aku tak bisa mengerti semua ini. Begitu banyak pengorbanan yang kulakukan untuk sahabat-sahabatku, tapi lagi-lagi mereka ‘menjauhiku’. “Faiy, lo kenapa sih ? kok nangis tiba-tiba,” tanya Silvy padaku begitu aku menyelesaikan tangisku. “Ngga papa, Vy,” aku mencoba tersenyum. Senyuman yang sungguh lirih jika kumaknai. “Faiy, tau nggak ? tadi gue ketemu loh sama dia,” ujar Silvy malu-malu. Dia pasti ingin bercerita tentang lelaki yang dia sukai. Aku tak begitu berharap banyak padanya untuk menjadi sahabatku.

Kurasa semua sama. Tak ada yang setia. Kadang aku merasa hanya dimanfaatkan oleh ‘sahabat-sahabatku’ itu. Kala dibutuhkan, aku didekati. Begitu masalah mereka selesai, aku dicampakkan kembali. “Faiy, kenapa ya, Lara malah jadi jauh sama gue. Padahal gue deket banget sama dia. Dia yamg dulu paling ngerti gue. Sahabat gue,” Silvy curhat padaku tentang Lara yang begitu dekat dengannya, dulu. Sekarang ia lebih sering cerita padaku. Entah mengapa mereka jadi menjauh begitu. “Yah, Vy. Jangan merasa sendirian gitu dong,” balasku tersenyum. Aku menerawang,” Kalau lo sadar, Vy, Allah kan selalu bersama kita. Kita ngga pernah sendirian. Dia selalu menemani kita. Kalau kita masih merasa sendiri juga, berarti jelas kita ngga ingat Dia,” kata-kata itu begitu saja mengalir dari bibirku. Sesaat aku tersadar. Kata-kata itu juga tepat untukku. Oh, Allah, maafkanku selama ini melupakanmu. Padahal Dia selalu bersamaku.

Tetapi aku masih sering merasa sendiri. Sedangkan Allah setia bersama kita sepanjang waktu. Bodohnya aku. Aku ngga pernah hidup sendiri. Ada Allah yang selalu menemaniku. Dan seharusnya aku sadar, dua malaikat bahkan selalu di sisiku. Tak pernah absen menjagaku. Kenapa selama ini aku tak menyadarinya? Dia akan selalu mendengarkan ‘curhatanku’. Dijamin aman. Malah mendapat solusi. Silvy tiba-tiba memelukku. “Sorry banget, Faiy. Seharusnya gue sadar. Selama ini tuh lo yang selalu nemenin gue, dengerin curhatan gue, ngga pernah bete sama gue. Dan lo bisa ngingetin gue ke Dia. Lo shabat gue. Kenapa gue baru sadar sekarang, saat kita sebentar lagi berpisah…” Silvy tak kuasa menahan tangisnya.

Aku merasakan kehampaan sejenak. Air mataku juga ikut meledak. Akhirnya, setelah aku sadar bahwa aku ngga pernah sendiri dan ingat lagi padaNya, tak perlu aku yang mengatakan ‘ingin menjadi sahabat’ pada seseorang. Bahkan malah orang lain yang membutuhkan kita sebagai sahabatnya. Aku melepaskan pelukan kami. “ Makasih ya, Vy. Ngga papa koki kita pisah. Emang kalau pisah, persahabatan bakal putus. Kalau putus, itu bukan persahabatan,” kataku tersenyum. Menyeka sisa-sisa air mataku. Kami tersenyum bersama. Persahabatan yang indah, semoga persahabatan kami diridoi Allah. Sahabat itu, terkadang tak perlu kita cari. Dia yang akan menghampiri kita dengan sendirinya. Kita hanya perlu berbuat baik kepada siapapun. Dan yang terpenting, jangan sampai kita melupakan Allah. Jangan merasa sepi. Dia tak pernah meninggalkan kita. Maka jangan pula tinggalkannya.

Kamis, 14 Maret 2013

''Pertama kali kenal sama pacar pertama gua dari temen gua''

oke guys gua pingin berbagi cerita tentang pertama kali gua kenal sama pacar pertama gua dari temen'' gua.
gua pernah kenal sama cwe yg berinisial M. sebelum gua kenal sama sii M ini, gua bertemen sama temen dari sii M yg berinisial S, dan gua punya temen dekat yg saat itu die berpacaran dengan sii S ini, sebut saja namanya N. waktu itu gua bertiga satu kelas sama S dan N.
N sering banget cerita ke gua tentang die deket sama cwe, beberapa hari kemudian die bilang kalau die udah jadian, beberapa hari itu gua tau kalau ternyata pacarnya itu gak jauh'' temen kelas sendiri. saat setelah gua tau die pacaran dengan S, dengan senengnya gua ledekin die berdua, ehh sii S kesel dan die ngomong ?

rangkuman cerita :
S         :  lu mah kaga usah ngeledek mulu 'dengan muka kesel'
Gua     :  kaga apapa lah biar orang tau kalau lu udah jadian ama sii N
S         :  gua kan malu kalau sampe orang tau
Gua     :  udah kaga usah malu, lagian lu pacaran pake acara diem'' hihihi
S         :  tau ahh ....! tuh sii M suka sama lu
Gua     :  M yang mane ?
S         :  M yg sekelas sama temen lu d'kelas E
Gua     :  ohh sii M itu, emang die ngomong apa ke lu ?
S         :  die ngomong kalau lu tuh anak'nya MANIS sambil 'muka marah'
Gua     :  wah jadi malu gua dengernya. bagi guys yg baca ini FAKTA hihihi ( tanpatambahankata ).

oke gua lanjutin ceritanya.
dulu sih gua sempet suka sama sii M ini waktu kelas 1smp. tapi gua berpikir kalau gua gak bakal bisa bersamanya, karna gua anaknya pemalu dengan yg namanya perempuan yg belom pernah gua kenal hehehe.
ye gua abaikan aja keinginan gua .tapi ternyata tuhan tau perasaan ku waktu itu dan tanpa di sadari sekian lama tuhan membalaskan rasa suka gua kepadanya sampe die suka balik ke gua dan cerita ke temen deketnya.

gua lanjut ke topik M suka sama gua.
setelah gua tau kalau die suka sama gua, setiap pulang sekolah gua selalu lewat d'depannya bersama temen gua, dan gua bilang ke temen gua kalau sii M ini suka sama gua, waktu itu temen gua kenal baik sama sii M ini, sebut aja sii E, E ngomong ke gua kalau die bakal bantuin gua, E ngomong lu mau gua mintakan nomor hpnya, ye gua bilang aja mau 'dengan muka malu' hihihi, terus gua naik motor bergoncengan dengan sii E pergi untuk minta nomor hp sii M, waktu temen gua minta gua serasa malu banget dan cepet'' pergi dari situ.

sii E bilang sini gua yg nyepikin ya udah gua bilang YA, dalam beberapa jam sii E nyepik dan tidak ada hasilnya, terpaksa gua turun tangan sendiri, dalam 1 jam sii M ada perubahan hihihi jadi malu.
gua cerita banyak waktu PDKT gua sama M, beberapa hari kemudian belom sampe seminggu gua jadian sama sii M, dan hatipun gembira.


Oke sekian cerita tentang pertama kali gua kenal sama pacar pertama gua dari temen'' gua.