Rabu, 01 Mei 2013


Ijinkan Aku Mencoba

        Dalam satu sisi hati, bagian kecil itulah yang mungkin belum aku mengerti. Begitu sulitnya aku pahami teka teki hati itu. Sesulit apapun toh saat ini hanya satu yang aku tahu. Mungkin, aku tak bisa hidup tanpa dia.

.~~#~~

            Kepalaku terasa pening. Kusadarkan diriku dalam dinding kamarku. Aku tidaklah kecanduan. Tapi, beginilah rasanya bila aku tidak ketemu dia.
“Sil, kamu gak boleh gitu donk”, kata Hilda setelah kuminta dia datang.
“kamu harus semangat. Tanpa dia kamu bisa. Kamu harus coba!”.
“semangat apapun itu Hil, aku nggak akan bisa bertahan. Sehari saja aku tidak ketemu dia, seakan tak ada lagi asa dalam hidupku. Semua terasa kelam”.
“kamu memang sudah terobsesi ma dia Sil. Kenapa kamu terus saja menggantungkan diri ma dia. Apa kamu akan terus begini?”.
Hilda, bukannya aku menolak semua nasehatmu. Tapi, aku tak akan bisa. Sebenarnya, kamu benar Hil, aku tidak boleh menggantungkan diri ma dia. Dia bukanlah siapa-siapaku. Tapi, benar-benar aku kagum ma dia. Dia hebat. Begitu hebatnya dia bisa membuatku ceria hanya dalam beberapa saat ketika aku berada dalam ketidak berdayaan dia itu spesial buat aku. Mungkin aku memang bodoh. Tapi, tiada daya bila aku harus berpisah dengannya. Seakan dialah satu-satunya harapan hidupku.

~~#~~


“Seneng banget Silvi, pasti deh gara-gara dia”, Goda Hilda ringan
“So pasti. Kayak gak tau aja. Itu kan lagu lama”
Lagi-lagi aku harus dengar nasehat Hilda agar aku sedikit demi sedikit menjauh dari dia. Memang apa salahku. Kenapa Hil, kamu paksa aku untuk berpisah dengan dia?. Dialah yang paham tentang diriku.
“Hil, apakah kamu menginginkan aku bersedih dan menangis. Apa kamu tak ingin melihat aku bahagia?”. Kataku pelan untuk membela.
“Justru karena aku sayang ma kamu Sil. Lupakan dia!. Belajarlah untuk itu!”. Katanya sambil menepuk pundakku.
Hilda, aku tak tahu apa yang ada dalam pikiranmu. Hil, tolonglah mengertilah aku. Jangan paksa aku untuk melakukan itu.

~~#~~

            Pagi yang membuat aku kecewa. Badanku terasa lemas terhempas dikamar. Mataku telah berkunang-kunang. Sesaat aku rasakan pening yang sangat. Tuhan, apa yang terjadi pada diriku. Aku remas kertas bersampul biru itu dan kulempar sekuat sisa-sisa tenagaku.
“ Tidak!!!”
Aku tidak boleh menyerah begitu saja. Aku harus berusaha untuk melupakannya. Dia harus tersingkir dari sampingku. Akupun menangis. Lebih baik menangis untuk menahan semua luka yang harus aku lalui. Tanganku menggapai seakan ingin aku minta pertolongan. Pada siapa aku harus meminta pertolongan selain pada dia.
Tiada daya akupun terhempas. Sampai kapan aku harus merasakan sakit kepala ini. Sesekali aku pandang obat sakit kepala itu. Hanya itu yang bisa menyembuhkanku. Obat itu yang membuat aku ceria. Ya.. meski hanya 1 tablet. Dialah semangat hidupku. Tapi, tak mungkin. Aku sadar. Aku harus menghentikan minum obat itu. Aku tidak boleh ketergantungan. Ijinkanlah aku mencoba. Mencoba berpaling dari obat itu. Bagaimana caranya akan aku coba. Tiada efek apa-apa sebenarnya tapi benar kata Hilda. Meski setiap saat dialah teman hidupku tapi bukan berarti dia Tuhan yang bias menentukan umur seseorang. Dia tak bisa mengatur hidupku. Sedikit asa aku mencoba bertahan. Bertahan dan terus bertahan. Meski sakit ini belum hilang tapi aku yakin aku bisa mengatasinya meski harus berjuang.
Tubuhku semakin  lemas. Aku biarkan mata ini terpejam. Biarkan rasa sakitku pergi bersama mimpi-mimpiku. Saat ini mungkin inilah caraku lepas dari obat itu. Sedikit aku lega. Dalam desahan panjang akau mencoba tersenyum meski aku tak tahu apa yang akan terjadi saat mata ini terbuka. Ijinkanlah aku meminta. Bukan mobil mewah ataupun rumah yang megah. Yang jelas hanya keceriaan yang ingin aku miliki. Keceriaan tanpa batas dan tanpa obat sakit kepala disisiku.

 kebaikan pasti akan dibalas dengan kebaikan
Angin berhembus kencang. Bulan tampak bersinar terang ,aku duduk melamun di teras rumah dan aku teringat akan seseorang yang menanti aku di kampung  halaman yang sangat jauh dari tempat ku saat ini.wajahnya secantik bidadari  dan berseri bagaikan sinar bulan.
Mata ini seakan hendak menurunkan hujan . ketika aku ingat akan perkataan nya.
“jaga dirimue baik-baik sayang dan ingat jangan nakal yah? Aku di sini ada setia menunggumu sampai kau kembali”,kata dia sambil berbicara dengan wajah suram .
“iya sayang,love you “,aku menjawab sambil mencium dahinya.
Dan aku pun pergi untuk merantau ditanah orang.aku di tanah orang ,sangat lah susah dan tersiksa.tiap hari bekerja mengangkut barang di pelabuhan .karena perkerjaan itulah yang satu-satunya aku dapatkan saat ini.pulang malam hari dengan membawa rasa pegal.
Dari bulan ke bulan perkerjaan ini aku lakukan sampai suatu ketika ,saat aku berjalan menuju tempat bekerja aku melihat seorang ibu-ibu sedang diancam pencopet.aku segera menolong ,dengan menghajar pencopet itu maklum mantan jawara pesilat desa.akhirnya pencopet itu kabur.
“terima kasih,nak .telah menolong ibu”,kata ibu itu.
“sama-sama,ibu. Kita sebagai manusia  harus saling tolong menolong”,jawabku.
Setelah kejadian itu aku meneruskan perjalanan menuju tempat perkerjaan . di tempat perkerjaan, aku berkerja seperti biasa, ketika aku berkerja aku tak sengaja menjatuhkan kotak barang,kotak barang itu berisi barang berharga.
“hei kenapa jatuh,kamu ini bodoh  yah. Didalamnya itu ada barang berharga, sekarang kamu ganti atau kamu saya pecat”,kata pak kepala bagian pelabuhan Berbicara dengan rasa marah.
“maaf pak ,aku tak sengaja menjatuhkan nya”.
“maaf-maaf, tidak ada kata maaf. Sekarang kamu saya pecat”.
 akhirnya aku pun di pecat dari perkerjaan itu dan aku pun memutuskan untuk pulang kampung  aku segera mengemasi barang-barang dan langsung ke terminal. Di terminal aku tak sengaja bertemu dengan ibu yang aku tolong.
“hei,nak.apa kabar?”
“baik buk’,jawabku sambil murung.
“kok murung”Tanya ibu itu.
“ini buk,saya baru di pecat dari perkerjaan dan saat ini saya  mau pulang kampung  saja,saya sudah tak ada perkerjaan lagi buk”
“oh, kamu mau nggak perkerjaan?”
“mau buk”,jawabku.
“kalau  gitu besok kamu langsung ke kantor ibu di jalan subroto”
“iya buk,terima kasih”jawabku.
“sama-sama nak”.
Setelah itu aku berkerja di di kontor perusahaan ibu selama dua bulan dan aku di beri kesempatan oleh perusahaan untuk kuliah dengan biaya perusahaan. Setelah tamat kuliah aku naik jabatan dari pegawai biasa menjadi kepala bagian dan aku juga dijadikan anak angkat oleh ibu tadi,sungguh beruntungnya aku.memang betul  apa kata pepatah,kebaikan pasti akan dibalas dengan kebaikan.tak terasa sudah satu jam aku duduk melamun.akupun masuk dan bersiap-siap untuk pulang kampung.karena aku sudah kangen dengan dia.

Secangkir Kopi di Suatu Senja
SELALU saja ada yang kutunggu-tunggu. Ya, sebuah moment ketika seperti mengulang jatuh cinta pertama kali seperti belasan tahun lalu. Manakala perasaan berdentum-dentum menguarkan semacam debaran aneh yang tak tereja apa maknanya. Seperti cemburu meletup-letup, tetapi indah. Seperti rindu dengan kekasih yang telah lama melewatkan malam minggu berdua saja.
Bila rasa itu bergelinjang lincah, maka satu-satunya cara adalah menepi. Ya, memilih pelahan berjingkat meninggalkan keriuhan, lalu sepasang mata ini akan menjelajah. Seperti pemburu dengan senapan angin di tangan kanan. Seperti pelukis yang rindu dengan kanvas dan kuas. Seperti pekerja kantoran yang mata dan jari-jemarinya tak pernah sejengkal berlalu dari tabung pintar yang kini dapat dijinjing dan cakap mengolah jutaan data. Aku seperti mereka yang menahan rasa cinta menahun. Sakit namun indah. Pilu tetapi nikmat. Melankolis sekaligus romantis. Setidaknya bagiku.
Berulangkali momen itu singgah dan selalu mengingatkanku, betapa beberapa peristiwa penting yang kini menjadi kenangan itu mengiringinya. Aku masih ingat, ketika beberapa tahun silam, pada suatu hari menjelang senja, engkau tiba-tiba hadir di hadapanku. Senyummu mengembang, tanganmu begitu hangat dan ah ya, kentara kurasakan aroma kerinduan memenuhi jiwamu.
Tanpa minta pertimbanganku, engkau menggenggam tanganku. Lalu mengajakku ke sebuah tempat. Sepanjang perjalanan, tak ada satupun kata meluncur dari bibirmu. Begitupun aku. Pelukan erat di tubuhmu, cukuplah kau tahu, bahwa aku pun menginginkan kehadiranmu.
Senja yang eksotis. Karena engkau dan aku dapat menyaksikan selarik bianglala meningkahi bayang matahari yang beranjak pulang. Tahukah? Itu sungguh menakjubkan, karena tak ada hujan membasahi semesta.
Mata kita sama-sama terpaku. Bukan saling menatap. Tidak. Tapi, karena sama-sama terhipnotis semburat gagah di cakrawala barat yang pelahan meredup diiringi ratusan burung-burung camar yang entah darimana asalnya. Aku tergagu, engkau mematung. Kita sama-sama larut dalam ekstase megah yang aku tak yakin dapat setiap waktu menjumpainya. Tanganmu menggenggam jemariku erat. Terasa hangat. Seperti ada yang kau alirkan dengan diam-diam. Persis ketika dua cangkir kopi tiba di meja kita. Mengepul-ngepulkan aroma wangi yang menyusup hingga nurani.
Tanpa kata-kata, kau ulurkan secangkir untukku. Alis matamu membuncah. Pipimu bersemu merah. Begitu pula bulu matamu bergerak-gerak indah. Mungkin, itu sebuah isyarat pernyataan cintamu, entahlah!
Senja itu menjadi hari terindah yang pernah kumiliki. Karena tak ada lagi pertemuan setelahnya. Aku kehilanganmu. Sedang sejak saat itu, hatiku telah berlimpah cinta. Dan kau, tidak mengizinkanku untuk mengungkapkannya. Aku seperti camar pulang yang tak (lagi) melewati megahnya matahari.  Seperti biduk yang lupa dimana meletakkan kayuhnya. Aku seperti bulan yang tak dapat berjumpa malam. Lebih menyesakkan karena bayanganmu terus menyertaiku.
Aku menyimpan rindu acapkali senja memagut indah. Seringkali ketika langit tak mengabarkan hujan, aku menyapa senja seorang diri.  Di teras rumahku, kuletekkan sebuah meja dan dua kursi. Siapa tahu engkau datang lagi seperti hari itu. Kuseduh air di dalam panci bertangkai, lalu kuracik dua cangkir kopi dengan hati-hati. Hatiku berdebar-debar ketika panci kecilku mendidih, dan rasanya ada kelegaan yang begitu nikmat, ketika dua cangkir itu terisi penuh serbuk kafein berpadu gula. Kuaduk pelan meski tak serupa barista. Aku hanya ingin kau tahu, bahwa di dalam cangkir itu ada cintaku untukmu.
Senja selalu menjadi bagian romantis. Bahkan ketika sendiri. Mencecap secangkir kopi, tak peduli apakah hanya kopi hitam bercampur gula saja, atau telah bermanifestasi ke dalam coklat susu atau gumpalan cream pekat. Entah apakah dinikmati di beranda rumah atau di tepi pantai atau bahkan dari lantai lima sebuah plaza. Rasanya selalu indah. Sebab, aku tahu, sebenarnya aku tak hanya sedang menikmati nikmatnya, melainkan karena sebagian  jiwaku berada di dalamnya.
Bila senja ini adalah sebuah penantian
Maka, engkaulah yang kutunggu
Dengan rasa yang berlimpah ruah seperti pesta
Seperti mempelai menanti malam pertama

Bila senja ini adalah bahagia
Itu sebab engkau karenanya
yang meminang sepanjang hari dengan desir wangi
dan putik bebunga tak layu

Senja ini adalah romansa
Sebab engkau mendampingi
Secangkir kopiku yang beradu rasa dengan setangkai sendok gula, sedikit susu
Dan kenanganmu,……